Mulai sekarang, penilaian yang didasarkan atas nilai-nilai primordialisme harus disingkirkan. Yang harus kita lakukan ialah bagaimana membangun kultur kolektif bangsa sehingga penghargaan dan hukuman dilandaskan atas penilaian yang obyektif.
Demikian dikatakan guru besar Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof Kusnaka Adimihardja PhD, Kamis (15/12). Kusnaka dihubungi menanggapi kekecewaan para tokoh dari Paguyuban Pasundan atas dicopotnya dua menteri asal Jabar dari jajaran Kabinet Indonesia Bersatu.
Kusnaka menuturkan, sekarang jangan lagi berpikir primordial. Penilaian yang didasarkan atas kemampuan dan tolok ukur yang jelas serta rasional yang seharusnya dikedepankan.
Alasan kesukuan sangat tidak relevan karena masalah bangsa ini besar. Jangan mengandalkan emosional, tapi kalkulasi yang rasional, katanya.
Lebih lanjut Kusnaka menjelaskan, sebenarnya orang Sunda itu sangat rasional. Karena rasional, maka orang Sunda melihat kultur sebagai sesuatu yang dinamis.
Jadi, mungkin saja institusinya yang masih konservatif tidak melihat realitas dan dinamika yang terjadi, tuturnya.
Kusnaka mengakui sulit menginternalisasi watak rasional orang Sunda dalam sebuah institusi karena nantinya akan menimbulkan konflik antara pihak yang rasional dan konservatif.
Sementara itu, mantan anggota DPR asal Jawa Barat, Tjetje Hidayat Padmadinata, mengutarakan, ketika berbicara Kabinet Indonesia Bersatu, maka asal- usul etnik dan daerah jangan dikedepankan. Kurang relevan lah, ujar Tjetje.
Menurut dia, yang harus dipertimbangkan dari seorang menteri atau calon menteri ialah rekam jejaknya, yang meliputi integritas pribadi dan profesionalismenya.
Perlu ada pencerahan
Tjetje merasa bersyukur bahwa ternyata ada orang Sunda yang menjadi menteri. Namun, sebelum diangkat menjadi menteri, presiden harus bertanya terlebih dahulu kepada orang Sunda bagaimana reputasi orang tersebut. Jadi, pemilihan pejabat negara tidak asal Sunda saja.
Meski kultur orang Sunda sendiri sebenarnya rasional, ujar Tjetje, pemikiran setiap orang tetap akan berbeda.
Oleh karena itu, lanjut Tjetje, agar memiliki wawasan kebangsaan yang luas, perlu adanya proses pencerahan berpikir di kalangan orang Sunda.
Sementara itu, Dr Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Jabar, mengatakan, sikap tokoh Paguyuban Pasundan yang merasa kecewa atas pencopotan dua menteri asal Jabar merupakan sikap yang baru.
Justru Paguyuban Pasundan berani bicara terbuka ini sikap baru. Dulu mana ada orang berani. Jadi, bagi negeri dengan berbagai macam suku, perhatikan juga masalah keterwakilan ini, ujar Nina Lubis.
Akan tetapi, lanjut Nina, kekecewaan itu tidak mencerminkan aspirasi masyarakat Sunda secara keseluruhan. Banyak juga yang tidak peduli dengan urusan kesundaan atau juga tidak mau menunjukkan sikap. Ini adalah sikap siger tengah (mencari aman) yang menjadi budaya politik Sunda, ungkap Nina Lubis.
Menurut dia, selama ini orang Sunda merasa tersisihkan dalam percaturan politik nasional, bahkan di kandang sendiri. Masalah keterwakilan dalam kabinet sudah sering dikemukakan berbagai kalangan di Bandung secara terbuka dalam berbagai kesempatan kepada para calon presiden sebelum pemilihan.
Sumber : kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar