Selasa, 15 November 2011

Islam-Sunda Bersahaja di Kampung Naga

Oleh AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI

Cuntang gantang guratgaret papetelannyieun tali keukeumbingannyieun gantar pupuntungan,nyieun bom tali kerta. 

TAHUN ini (2003, -Ki Santri) adalah tahun kambing. Ini bukan ramalan shio China, tapi hasil perhitungan astronomi masyarakat adat Kampung Naga, Tasikmalaya. Sebagai masyarakat agraris, penamaan tahun ini dikaitkan dengan curah hujan dan curah matahari. Tahun kambing berada berada di bawah bayang-bayang Dewa Tumpekmindo, yang menandai karakter tahun yang kadang-kadang hujan, kadang-kadang kemarau. Perhitungan tahun masyarakat Kampung Naga menggunakan penanggalan Hijriah, lewat analisis terhadap jenis hari yang bertepatan dengan 1 Muharam, mereka menemukan jejak-jejak cuaca bagi kelangsungan kehidupan agraris mereka. Tahun 1423 H yang jatuh pada Sabtu dirumuskan berada dalam karakter kambing, sesekali saja membutuhkan air.

Setiap bulan dalam setiap tahun, bisa juga dihitung arah cuacanya. Ada karakter dari masing-masing bulan. Bulan ini, sebagai contoh, tanggal 1 Hapit jatuh pada Minggu, Hapit bernaktu 1 ditambah dengan naktu tahun 1423: 4; berada di bawah bayangan Dewa Diktekapata (atau congcorang, belalang sembah), merupakan bulan yang jarang turun hujan.

Masyarakat adat Kampung Naga, tepatnya di wilayah Desa Neglasari Kecamatan Salawu Tasikmalaya, merupakan masyarakat Muslim yang secara ketat masih menjadikan adat Sunda sebagai rujukan kehidupannya. Hitungan waktu mereka merujuk pada hitungan sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk halus yang menempati horison langit) yang selalu berpindah-pindah dan posisinya menentukan curah hujan. Mereka membuat delapan kategori tahun, dengan kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi yaitu: tahun alif, tahun he, jim awal, ze, dal, be, wau, dan jim ahir; sekaligus juga memercayai adanya Dewa-dewa Diktekapata, Somamarocita, Angarakata, Budhaintuna, Laspatimariha, Sukramangkara, dan Tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan dijadikan pedoman bagi cara bertanam.

Harmonisasi kepercayaan lokal dengan sistem ajaran Islam tidak jarang membuat mereka dipojokan sebagai komunitas yang berada di luar kebenaran (Islam). Apalagi, mereka menyarankan warganya yang sudah berhaji untuk tidak tinggal di wilayahnya, yang berhaji dianggap telah berziarah pada roh yang lebih suci ketimbang penghuni Kampung Naga karena itu tidak pantas lagi tinggal di wilayah Kampung Naga.

Serangan terhadap keunikan tradisi kehidupan Kampung Naga ini berpuncak pada tahun 1956. Kampung Naga dibakar oleh gerombolan DI/TII yang menyebabkan seluruh benda-benda pusaka hangus terbakar. Ada kisah lain yang menarik mengenai soal ini. Konon (seperti ditulis Syukriadi Sambas dalam tesisnya “Pemimpin Adat dan Kosmologi Waktu”) pada tahun 1966 ada seorang warga Kampung Naga yang pulang dari pesantren. Ajaran Islam yang didapatkan dari pesantren membuat ia menyimpulkan bahwa itung-itungan masyarakatnya bertentangan dengan akidah Islam. Pemimpin adat waktu itu, Djaja Sutidja menerima kritik dan melakukan perubahan sesuai dengan keinginan santri muda tersebut. Untuk tanam padi tahun itu, ia menyerukan warganya untuk menggunakan penghitungan masyarakat umum (tidak menggunakan itung-itungan Kampung Naga). 

Namun, anehnya hasil pertanian gagal dipanen, ada hama wereng yang merusak tanaman mereka.
Waktu tanam memang tidak diatur dalam Alquran dan Hadis karena itu mereka merasa bukan soal besar jika menggunakan sistem penghitungan dari luar batas ajaran Islam atau mereka tak lagi menyoalkan kategori benar-salah, hidup membutuhkan kategori lain yang lebih membantu, yaitu bermanfaat-tidak bermanfaat. Upaya untuk mengategorikan kehidupan dalam batas salah-benar, seperti kasus santri muda, membuat kehidupan jadi berantakan. Walaupun demikian, secara sadar, warga Kampung Naga memulai perhitungannya dengan doa:

Allahumma puter giling tulak bala/ Saking gumiling aya di wetan/ Bilih balai aya di wetan/ Pulang deui ka wetan/ Tunggal hurip ku kersaning Allah/ La Ilaha Illallah// Selamet

Kampung Naga, menurut kepercayaan masyarakatnya, adalah keturunan kerajaan Galunggung masa Islam. Mereka keturunan dari Sembah Dalem Singaparana, anak dari Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung VII. Prabu Rajadipuntang adalah Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Menurut catatan sejarah, buraknya Kerajaan Galunggung di tangan Prabu Rajadipuntang pada tahun 1520-an karena diserang oleh Kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Surawisesa (1535-1543). Saat itu ada perebutan kuasa antara kerajaan Islam dan asli. Kerajaan Galunggung telah menjadi pemeluk agama Islam dan berarti tidak lagi menjadikan Pajajaran sebagai pusat. Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan menyerahkannya pada anak bungsunya yang bernama Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu Singaparana dibekali ilmu kebodohan yang membuat dirinya bisa nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian).

Kampung Naga terletak diantara dua buah bukit dan di sisi Sungai Ciwulan. Ada sekira 420 takikan anak tangga di lereng perbukitan itu (konon pada penghitungan kali lain jumlahnya bisa berubah). Kita harus menuruni anak tangga itu sampai di tepian Sungai Ciwulan. Sungai itu melintasi Kampung Naga. Dengan menelusuri jalan di pinggir Sungai Ciwulan tidak lebih dari dua ratus meter, sampailah kita ke wilayah Kampung Naga yang dikelilingi pagar bambu. Di seberang sungai berdiri kokoh hutan kecil, sebuah bukit yang dipenuhi oleh pohon-pohon yang tampaknya berumur sangat tua. Leuweung Larangan itulah nama yang dikenal oleh masyarakat Kampung Naga. Leweung Larangan berada di seberang Sungai Ciwulan, sebelah timur perkampungan; di sebelah barat (tepat di belakang) perkampungan terdapat Leuweung Keramat.

Leuweung Larangan, yang terletak di sebelah timur pemukiman, disebut sebagai hutan tempat para dedemit. Para dedemit dipindahkan oleh Mbah Dalem Singaparana dari wilayah yang akan ditempatinya, yang kini menjadi wilayah yang ditempati masyarakat Kampung Naga. Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali dilarang untuk diinjak oleh siapa pun, khususnya warga Kampung Naga. Jangankan memasukinya, menginjakkan sebelah kakinya di hutan tersebut merupakan pantangan yang sangat keras. Dengan demikian secara kosmologis, memilah dunia dalam tiga wilayah, yaitu Leuweung Keramat (tempat nenek moyang mereka dimakamkan) yang ada di sebelah barat, perkampungan tempat mereka hidup dan bercocok tanam di tengah-tengah, dan Leuweung Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur. Posisi perkampungan tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh tempat masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka).

Berdasarkan pembagian wilayah tersebut, bila menggunakan kerangka teori antropologi budaya, mereka membangun kosmologi ruang: atas-tengah-bawah; atau baik-netral-buruk. Lueweung Larangan di arah timur dan leweung Keramat di arah barat sebagai sumber kekuatan sakral kehidupan keseharian mereka. Leuweung Larangan sebagai wilayah chaos, tempat semua dedemit dan roh jahat berada. Leweung Karamat berada di sebelah barat adalah sumber kebaikan; masjid dan harta pusaka menjadi penghubung untuk mengalirkan kesakralan ke arah barat.

Hutan Keramat dan Bumi Ageung yang berada di bagian barat masjid, di posisi kiblat, secara simbolis menunjukkan negosiasi ajaran Islam dan tradisi lokal. Menghadap ke kiblat berarti membayangkan penghadapan pada Kabah yang harus melalui penghadapan terhadap harta pusaka dan hutan keramat. Keinginan mendapatkan kesakralan Kabah didahului oleh penghubungan diri terhadap nenek moyang yang dikuburkan di Leuweung Keramat. Kosmologi ruang seperti ini barangkali yang menjadi dasar penolakan mereka terhadap warganya yang telah berhaji. Berhaji berarti berziarah secara langsung ke makam Orang Suci. Yang berhaji telah secara langsung berhubungan karena itu tak lagi membutuhkan kiblat yang dibungkus Bumi Ageung dan Leuweung Keramat.

Melihat kompisisi dan kedudukan Bumi Ageung tersebut memperlihatkan garis kosmologis yang tegas, yaitu bahwa seluruh rumah berpusat pada Bumi Ageung dan Bumi Ageung berhubungan atau berpusat pada Leuweung Keramat, tempat nenek moyang atau makam para Karuhun. Pandangan kosmologis yang menempatkan manusia (bumi tempat manusia berada) dalam impitan antara yang sakral (Leuweung Keramat) dan yang chaos (Leuweung Larangan), telah memosisikan manusia di antara dua keadaan tersebut. Hal tersebut tampak pada pandangan mereka tentang kosmologi waktu, yang secara umum dibagi dua, yaitu waktu nahas (tidak baik) dan waktu hade, baik. Keadaan kehidupan (dunia) manusia yang terimpit antara Leuweung Larangan (kebaikan, Yang Sakral) dan Leuweung Keramat (Ketidakbaikan, Yang Chaos) tersebut mengharuskan manusia untuk teliti dan hati-hati dalam menjalani kehidupan karena kedua dunia yang mengimpit tersebut telah pula memengaruhi waktu kehidupan manusia, waktu baik dan waktu tidak baik.

Terhadap waktu mereka membuat tiga patokan aktivitas, yaitu: Bismillah, berhubungan dengan awal dan asal (Yang Sakral), bernilai satu; Alhamdulillah, berhubungan dengan harapan hidup manusia yang baik (Dunia Tengah), dengan nilai dua; dan, Astaghfirullah, berhubungan dengan dunia yang tidak baik, bernilai tiga. Patokan ini menjadi dasar aktivitas mereka dalam mencari keselamatan, kemakmuran, dan penghindaran dari malapetaka. Misalnya, bagi orang yang hendak berobat disarankan untuk mulai berangkat pada hari yang bernaktu satu, sedangkan terhadap ruang (alam) mereka memiliki patokan nyangcang munding dina batu ku tambang sajeungkal, seug mun eling moal luput hami nyangcang kuda sabatekan begung; gaduh satapak munding seug mun eling moal luput mahi.

Di Kampung Naga, dialog Islam-Sunda menunjukkan bentuknya yang khas. Hirup kudu tungkul ka jukut tanggah ka sadapan, demikian patokan kebersahajaan mereka.***

Sumber: :  Pikiran Rakyat, Kamis, 30 Januari 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...